Senin, 19 Oktober 2009

Benarkah dunia telah 80 tahun menanti khilafah?

Oleh: Fahmi Amhar
Publikasi 15/12/2004

hayatulislam.net - Alhamdulillah, tulisan saya “80 Tahun Dunia Menanti Khilafah” (Republika 10 Maret 2004) telah mendapat banyak tanggapan. Selain yang langsung via email dan sms, Irfan Junaidi telah menulis tanggapan berjudul “Jalan Menuju Khilafah” yang dimuat di Republika 13 Maret 2004, sekalipun ada salah tulis nama saya di situ.


Beliau antara lain merasa bahwa istilah “negara khilafah” cukup mengganjal. Hal ini karena: (1) konsep khilafah adalah konsep ilahiyah, sedangkan negara selalu berjalan atas landasan akal manusia; (2) konsep khilafah tak pernah dibatasi secara geografis. Di akhir tanggapannya, Irfan menulis berbagai upaya menghadirkan kembali khilafah yang telah dilakukan. Salah satunya adalah Wali al-Fatah, tokoh Hizbullah yang telah membentuk “Jamaatul Muslimin” di Indonesia – yang sekalipun tak dikenal dan disambut dingin – namun oleh pengikutnya telah dibaiat sebagai khalifah.

Apa yang disampaikan Irfan adalah salah satu pendapat yang intinya barangkali pada skeptisme “Benarkah dunia telah 80 tahun menanti khilafah?”.

Pengikut Wali al-Fatah, juga pengikut Ahmadiyah, berpendapat, bahwa sekarang ini khilafah ada (jadi tak perlu dinanti lagi), dan khalifahnya adalah pemimpin spiritual mereka. Mereka menganjurkan semua orang berbaiat pada khalifah mereka itu. Bahkan untuk itu telah tersedia sebuah nomor telepon hotline untuk baiat.

Sementara itu sebagian kaum Arab nasionalis tak setuju bahwa khilafah runtuh 1924. Menurut mereka, khilafah telah tiada sejak Bagdad dihancurkan Tartar tahun 1258. Alasannya, pasca dinasti Abbasiyah, khalifah tidak lagi dari Quraisy, namun telah beralih ke Turki dari dinasti Utsmani. Sedangkan ada sebuah hadits yang berbunyi:

“Sesungguhnya urusan khilafah itu ada pada Quraisy.”

Sebagian ummat Islam lain yang mendambakan negara sempurna juga tidak setuju. Menurut mereka, khilafah hanya bertahan sampai dengan terbunuhnya Khulafatur Rasyidin ke empat, Ali bin Abi Thalib. Setelah itu adalah kerajaan-kerajaan monarki dengan penguasa absolut turun-termurun yang diwarnai korupsi dan kezaliman.

Sebagian kaum Syi’ah malah berpendapat, bahwa pasca Rasulullah, kaum muslimin telah meninggalkan ajarannya. Alasannya, para shahabat saat itu tak melaksanakan wasiat Nabi untuk menjadikan ‘Ali Khalifah penggantinya. Jadi negara Islam praktis hanya ada di masa Rasulullah.

Sedang kaum sekuler akan mengatakan bahwa Nabi tidak pernah menjadi kepala negara, juga tidak pernah mendirikan negara, apalagi negara Islam. Jadi memori 80 tahun runtuhnya Khilafah itu tak berarti apa-apa, karena untuk apa memperingati runtuhnya sesuatu yang tidak pernah berdiri? Kalaupun Khilafah itu pernah ada, itu tak lain hanyalah persekutuan spiritual yang tidak pernah dibatasi geografis, mirip pendapat Irfan.

Sedang kaum orientalis mengakui bahwa Nabi memang kepala negara, namun negara itu bukan negara Islam, melainkan negara sekuler, hanya kebetulan waktu itu yang berkuasa muslim, sehingga bisa mewarnai sistem negara itu dengan Islam. Alasannya, dalam piagam Madinah tercantum bahwa kaum Yahudi boleh menggunakan aturan-aturan mereka sendiri.
Demikianlah sejumlah pendapat di antara ummat, yang intinya skeptis pada pendapat bahwa khilafah berakhir 80 tahun yang lalu. Karena itu mereka juga skeptis untuk berkontribusi dalam proses penegakannya kembali.


Realita Empiris Negara Rasulullah

Apa sebenarnya entitas yang dipimpin oleh Rasul saat itu? Apakah RW, kota, atau negara? Atau Rasul hanya sekedar pemimpin informal / spiritual di dalam sebuah negara?

Fakta, pada masanya, Rasulullah telah melakukan berbagai aktivitas, baik spiritual seperti memimpin sholat maupun politis seperti mengirim dan menerima duta negara asing, mengirim pasukan, melakukan perjanjian, mengangkat hakim, gubernur dan panglima, menetapkan kebijakan publik, dan sebagainya. Apa ini bukan aktivitas seorang kepala negara, sekalipun negara itu adalah negara kota?

Fakta, di dunia dulu maupun kini ada negara-negara berdimensi kecil. Kita mengenal negara kota seperti Monaco, Luxemburg, atau Republik San Marino. Beberapa negara besar di masa kini, awalnya juga hanya kota. Republik Indonesia bermula di Jakarta. Tanpa pengakuan penguasa daerah-daerah lain atas proklamasi Soekarno-Hatta itu, RI tak akan jadi sebesar ini. Kalaupun batas RI adalah ex Hindia Belanda, maka Hindia Belanda juga dimulai dari Batavia, yang diperluas dengan politik imperialisme selama 350 tahun.

Fakta, Madinah saat itu mirip negara kota yang merdeka. Wilayah itu tak pernah ada di bawah dominasi kekuasaan asing. Mekkah juga negara kota lainnya. Saat itu, ada sejumlah negara yang lebih besar, bahkan adikuasa, seperti Romawi yang berkuasa hingga Suriah, Jordania dan Afrika Utara; dan Persia di wilayah Iraq dan Iran sekarang ini.

Masyarakat Madinah juga sebuah masyarakat yang khas. Saat Rasulullah hijrah, Islam sudah menjadi pemikiran (mafahim) dan perasaan (maqayis) dominan di Madinah, sekalipun belum semua penduduknya masuk Islam. Populernya Islam di Madinah ini tak lain adalah buah kerja keras Mush’ab bin Umair, shahabat yang dikirim Rasulullah, atas permintaan 12 penduduk Madinah yang telah menghadap Rasulullah.

Untuk menjadi masyarakat yang lengkap mereka tinggal membutuhkan aturan (nizham) yang dominan. Aturan ini tentu harus diterapkan seorang pemimpin yang memerintah mereka, dan mereka siap melindungi dan membantu pemimpin itu. Kontrak sosial masyarakat Madinah dengan pemimpin itu, yaitu Rasulullah, terjadi saat Baiat Aqabah-II. Baiat itulah momentum berdirinya negara Khilafah Islam. Ini mirip proklamasi 17–8-1945. Jadi negaranya (sebagai wilayah dan masyarakat) memang sudah ada sebagai proses rasional, tapi Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam, dituntun oleh wahyu. Dan sistem Khilafah ini memang berbeda dari sistem kerajaan atau republik. Dia sistem yang khas.

Ketika Rasul hijrah ke Madinah dan membuat piagam Madinah, piagam itu lebih mirip sebuah Undang-Undang Pakta Kerjasama baik intra Madinah maupun antara Madinah dengan suku-suku Yahudi di sekitarnya. UU ini tetap mengacu kepada Islam, karena di banyak pasalnya ada kalimat “dikembalikan kepada Allah dan Rasulnya”. Ini adalah kalimat yang jelas-jelas tidak sekuler, tidak demokratis, namun juga tidak diktatur, melainkan Islami.

Pada saat perjanjian Hudaibiyah, Rasul sebenarnya justru mendapatkan pengakuan kedaulatan (de jure) dari negara Makkah. Ini mirip 23 Agustus 1949 tatkala RI diakui oleh Kerajaan Belanda. Jadi Piagam Madinah ataupun Perjanjian Hudaibiyah bukanlah dalil untuk set-up sebuah negara, apalagi bila yang diinginkan adalah gambaran bahwa negara Rasul tersebut kompromistik.

Negara Rasul adalah sesuatu yang dihuni manusia. Tentu mereka juga ada yang tersalah dan berdosa. Hanya Rasul yang maksum. Meski demikian, itu tetap negara Islam, di mana sistem Islam berlaku, untuk meminimalkan maksiat, dan bila perlu menghukum pelakunya.

Ketika Rasul wafat, para shahabat senior yang bersamanya sejak tertindas di Makkah, justru tak segera mengurus jenazahnya, melainkan sibuk mencari penggantinya. Hanya Ali dan keluarga (sebagai keluarga dekat) yang memandikan dan mengkafaninya. Tapi Ali juga menunda menyolatkan dan menguburkannya, hingga terpilih Abu Bakar sebagai Khalifah. Penundaan ini, apalagi untuk jenazah Rasul, menunjukkan bahwa masalah Khilafah lebih urgen dari pengurusan jenazah.

Demikianlah para Khulafaur Rasyidin menerapkan Islam di dalam negeri, dan menyebarkannya ke seluruh dunia melalui dakwah dan jihad.

Ketika ‘Ali terbunuh, dan Daulah Umayyah berdiri, lalu tampak ada pola seperti monarki, sesungguhnya itu suatu pelanggaran yang tidak signifikan, tidak membuat bubarnya negara. Sistem Khilafah Islam tidak hanya soal suksesi, namun mencakup politik secara keseluruhan, juga ekonomi, hukum, pendidikan dan sebagainya. Mungkin mirip dengan trik Soeharto untuk jadi Presiden selama 32 tahun: rekayasa golkar, pemilu dan MPR. Kita tahu itu pelanggaran, namun RI tidak bubar karenanya.

Dinasti Umayyah hanya menyalahgunakan salah satu metode penentuan Khalifah, yaitu nominasi dari khalifah sebelumnya. Namun secara umum, sistem Khilafah tetap berfungsi. Imam Abu Yusuf menegaskan bahwa ciri-ciri negara Islam itu dua perkara: 1. Hukum yang berlaku di negara itu adalah dari Islam semata. 2. Kekuatan yang melindungi penerapan hukum tersebut semata-mata pada kaum muslimin, sekalipun mereka tidak mayoritas.

Fakta, dua syarat itu terpenuhi hingga tahun 1924. Dan fakta, banyak prestasi peradaban Islam yang dinisbahkan ke era ini. Bagi bangsa-bangsa di dunia, negara Khilafah tetaplah satu-satunya representasi kaum muslimin yang dihormati, disegani, ditakuti namun juga dimusuhi. Tidak seperti sekarang ini, di mana kaum muslimin hanya dimusuhi, tapi tak lagi disegani, dihormati, apalagi ditakuti.

Memang, ada kalanya datang khalifah yang dhalim, atau aparat yang korup. Tapi masyarakat tahu, itu adalah pelanggaran suatu hukum. Hukumnya sendiri digali dari Islam. Sementara sekarang, ketika khilafah tidak ada lagi, hukum digali tak hanya dari Islam, bahkan mayoritas hanya imitasi hukum-hukum warisan penjajah kafir.

Kehancuran Bagdad 1258 oleh Tartar juga tidak membubarkan khilafah. Di bagian-bagian lain negeri, sistem Islam tetap jalan. Dan tentang Khalifah yang tidak lagi Quraisy, diterangkan oleh Ibnu Khaldun, bahwa Quraisy itu hanya syarat afdhaliyah dan kontekstual, karena dahulu suku yang paling berpengaruh di jazirah Arab adalah Quraisy, sehingga secara sosiologis, adanya Khalifah yang Quraisy akan mengurangi resistensi.

Dengan demikian jelaslah, bahwa negara Khilafah Islam memang pernah ada, didirikan Rasulullah sendiri, dan telah berlangsung jauh hingga tahun 1924.

Adapun klaim pengikut Wali al-Fatah atau Ahmadiyah bahwa mereka telah memiliki Khalifah, tentu saja bertentangan dengan konsep Khilafah yang rajih (kuat), yang menyatakan bahwa khalifah itu pemimpin baik spiritual maupun politis, dan rakyatnya tak hanya pengikut gerakannya, melainkan semua orang, muslim ataupun bukan, yang berada di wilayah kekuasaan negara itu dan negeri-negeri lain yang telah menggabungkan diri padanya. Khalifah wajib melindungi dan mengurus kebutuhan seluruh rakyatnya ini, tak hanya pengikut gerakannya saja. Benarkah dunia telah 80 tahun menanti khilafah? (tanggapan-1 atas tanggapan Irfan Junaidi)

Oleh: Fahmi Amhar
Publikasi 15/12/2004

hayatulislam.net - Alhamdulillah, tulisan saya “80 Tahun Dunia Menanti Khilafah” (Republika 10 Maret 2004) telah mendapat banyak tanggapan. Selain yang langsung via email dan sms, Irfan Junaidi telah menulis tanggapan berjudul “Jalan Menuju Khilafah” yang dimuat di Republika 13 Maret 2004, sekalipun ada salah tulis nama saya di situ.


Beliau antara lain merasa bahwa istilah “negara khilafah” cukup mengganjal. Hal ini karena: (1) konsep khilafah adalah konsep ilahiyah, sedangkan negara selalu berjalan atas landasan akal manusia; (2) konsep khilafah tak pernah dibatasi secara geografis. Di akhir tanggapannya, Irfan menulis berbagai upaya menghadirkan kembali khilafah yang telah dilakukan. Salah satunya adalah Wali al-Fatah, tokoh Hizbullah yang telah membentuk “Jamaatul Muslimin” di Indonesia – yang sekalipun tak dikenal dan disambut dingin – namun oleh pengikutnya telah dibaiat sebagai khalifah.

Apa yang disampaikan Irfan adalah salah satu pendapat yang intinya barangkali pada skeptisme “Benarkah dunia telah 80 tahun menanti khilafah?”.

Pengikut Wali al-Fatah, juga pengikut Ahmadiyah, berpendapat, bahwa sekarang ini khilafah ada (jadi tak perlu dinanti lagi), dan khalifahnya adalah pemimpin spiritual mereka. Mereka menganjurkan semua orang berbaiat pada khalifah mereka itu. Bahkan untuk itu telah tersedia sebuah nomor telepon hotline untuk baiat.

Sementara itu sebagian kaum Arab nasionalis tak setuju bahwa khilafah runtuh 1924. Menurut mereka, khilafah telah tiada sejak Bagdad dihancurkan Tartar tahun 1258. Alasannya, pasca dinasti Abbasiyah, khalifah tidak lagi dari Quraisy, namun telah beralih ke Turki dari dinasti Utsmani. Sedangkan ada sebuah hadits yang berbunyi:

“Sesungguhnya urusan khilafah itu ada pada Quraisy.”

Sebagian ummat Islam lain yang mendambakan negara sempurna juga tidak setuju. Menurut mereka, khilafah hanya bertahan sampai dengan terbunuhnya Khulafatur Rasyidin ke empat, Ali bin Abi Thalib. Setelah itu adalah kerajaan-kerajaan monarki dengan penguasa absolut turun-termurun yang diwarnai korupsi dan kezaliman.

Sebagian kaum Syi’ah malah berpendapat, bahwa pasca Rasulullah, kaum muslimin telah meninggalkan ajarannya. Alasannya, para shahabat saat itu tak melaksanakan wasiat Nabi untuk menjadikan ‘Ali Khalifah penggantinya. Jadi negara Islam praktis hanya ada di masa Rasulullah.

Sedang kaum sekuler akan mengatakan bahwa Nabi tidak pernah menjadi kepala negara, juga tidak pernah mendirikan negara, apalagi negara Islam. Jadi memori 80 tahun runtuhnya Khilafah itu tak berarti apa-apa, karena untuk apa memperingati runtuhnya sesuatu yang tidak pernah berdiri? Kalaupun Khilafah itu pernah ada, itu tak lain hanyalah persekutuan spiritual yang tidak pernah dibatasi geografis, mirip pendapat Irfan.

Sedang kaum orientalis mengakui bahwa Nabi memang kepala negara, namun negara itu bukan negara Islam, melainkan negara sekuler, hanya kebetulan waktu itu yang berkuasa muslim, sehingga bisa mewarnai sistem negara itu dengan Islam. Alasannya, dalam piagam Madinah tercantum bahwa kaum Yahudi boleh menggunakan aturan-aturan mereka sendiri.
Demikianlah sejumlah pendapat di antara ummat, yang intinya skeptis pada pendapat bahwa khilafah berakhir 80 tahun yang lalu. Karena itu mereka juga skeptis untuk berkontribusi dalam proses penegakannya kembali.


Realita Empiris Negara Rasulullah

Apa sebenarnya entitas yang dipimpin oleh Rasul saat itu? Apakah RW, kota, atau negara? Atau Rasul hanya sekedar pemimpin informal / spiritual di dalam sebuah negara?

Fakta, pada masanya, Rasulullah telah melakukan berbagai aktivitas, baik spiritual seperti memimpin sholat maupun politis seperti mengirim dan menerima duta negara asing, mengirim pasukan, melakukan perjanjian, mengangkat hakim, gubernur dan panglima, menetapkan kebijakan publik, dan sebagainya. Apa ini bukan aktivitas seorang kepala negara, sekalipun negara itu adalah negara kota?

Fakta, di dunia dulu maupun kini ada negara-negara berdimensi kecil. Kita mengenal negara kota seperti Monaco, Luxemburg, atau Republik San Marino. Beberapa negara besar di masa kini, awalnya juga hanya kota. Republik Indonesia bermula di Jakarta. Tanpa pengakuan penguasa daerah-daerah lain atas proklamasi Soekarno-Hatta itu, RI tak akan jadi sebesar ini. Kalaupun batas RI adalah ex Hindia Belanda, maka Hindia Belanda juga dimulai dari Batavia, yang diperluas dengan politik imperialisme selama 350 tahun.

Fakta, Madinah saat itu mirip negara kota yang merdeka. Wilayah itu tak pernah ada di bawah dominasi kekuasaan asing. Mekkah juga negara kota lainnya. Saat itu, ada sejumlah negara yang lebih besar, bahkan adikuasa, seperti Romawi yang berkuasa hingga Suriah, Jordania dan Afrika Utara; dan Persia di wilayah Iraq dan Iran sekarang ini.

Masyarakat Madinah juga sebuah masyarakat yang khas. Saat Rasulullah hijrah, Islam sudah menjadi pemikiran (mafahim) dan perasaan (maqayis) dominan di Madinah, sekalipun belum semua penduduknya masuk Islam. Populernya Islam di Madinah ini tak lain adalah buah kerja keras Mush’ab bin Umair, shahabat yang dikirim Rasulullah, atas permintaan 12 penduduk Madinah yang telah menghadap Rasulullah.

Untuk menjadi masyarakat yang lengkap mereka tinggal membutuhkan aturan (nizham) yang dominan. Aturan ini tentu harus diterapkan seorang pemimpin yang memerintah mereka, dan mereka siap melindungi dan membantu pemimpin itu. Kontrak sosial masyarakat Madinah dengan pemimpin itu, yaitu Rasulullah, terjadi saat Baiat Aqabah-II. Baiat itulah momentum berdirinya negara Khilafah Islam. Ini mirip proklamasi 17–8-1945. Jadi negaranya (sebagai wilayah dan masyarakat) memang sudah ada sebagai proses rasional, tapi Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam, dituntun oleh wahyu. Dan sistem Khilafah ini memang berbeda dari sistem kerajaan atau republik. Dia sistem yang khas.

Ketika Rasul hijrah ke Madinah dan membuat piagam Madinah, piagam itu lebih mirip sebuah Undang-Undang Pakta Kerjasama baik intra Madinah maupun antara Madinah dengan suku-suku Yahudi di sekitarnya. UU ini tetap mengacu kepada Islam, karena di banyak pasalnya ada kalimat “dikembalikan kepada Allah dan Rasulnya”. Ini adalah kalimat yang jelas-jelas tidak sekuler, tidak demokratis, namun juga tidak diktatur, melainkan Islami.

Pada saat perjanjian Hudaibiyah, Rasul sebenarnya justru mendapatkan pengakuan kedaulatan (de jure) dari negara Makkah. Ini mirip 23 Agustus 1949 tatkala RI diakui oleh Kerajaan Belanda. Jadi Piagam Madinah ataupun Perjanjian Hudaibiyah bukanlah dalil untuk set-up sebuah negara, apalagi bila yang diinginkan adalah gambaran bahwa negara Rasul tersebut kompromistik.

Negara Rasul adalah sesuatu yang dihuni manusia. Tentu mereka juga ada yang tersalah dan berdosa. Hanya Rasul yang maksum. Meski demikian, itu tetap negara Islam, di mana sistem Islam berlaku, untuk meminimalkan maksiat, dan bila perlu menghukum pelakunya.

Ketika Rasul wafat, para shahabat senior yang bersamanya sejak tertindas di Makkah, justru tak segera mengurus jenazahnya, melainkan sibuk mencari penggantinya. Hanya Ali dan keluarga (sebagai keluarga dekat) yang memandikan dan mengkafaninya. Tapi Ali juga menunda menyolatkan dan menguburkannya, hingga terpilih Abu Bakar sebagai Khalifah. Penundaan ini, apalagi untuk jenazah Rasul, menunjukkan bahwa masalah Khilafah lebih urgen dari pengurusan jenazah.

Demikianlah para Khulafaur Rasyidin menerapkan Islam di dalam negeri, dan menyebarkannya ke seluruh dunia melalui dakwah dan jihad.

Ketika ‘Ali terbunuh, dan Daulah Umayyah berdiri, lalu tampak ada pola seperti monarki, sesungguhnya itu suatu pelanggaran yang tidak signifikan, tidak membuat bubarnya negara. Sistem Khilafah Islam tidak hanya soal suksesi, namun mencakup politik secara keseluruhan, juga ekonomi, hukum, pendidikan dan sebagainya. Mungkin mirip dengan trik Soeharto untuk jadi Presiden selama 32 tahun: rekayasa golkar, pemilu dan MPR. Kita tahu itu pelanggaran, namun RI tidak bubar karenanya.

Dinasti Umayyah hanya menyalahgunakan salah satu metode penentuan Khalifah, yaitu nominasi dari khalifah sebelumnya. Namun secara umum, sistem Khilafah tetap berfungsi. Imam Abu Yusuf menegaskan bahwa ciri-ciri negara Islam itu dua perkara: 1. Hukum yang berlaku di negara itu adalah dari Islam semata. 2. Kekuatan yang melindungi penerapan hukum tersebut semata-mata pada kaum muslimin, sekalipun mereka tidak mayoritas.

Fakta, dua syarat itu terpenuhi hingga tahun 1924. Dan fakta, banyak prestasi peradaban Islam yang dinisbahkan ke era ini. Bagi bangsa-bangsa di dunia, negara Khilafah tetaplah satu-satunya representasi kaum muslimin yang dihormati, disegani, ditakuti namun juga dimusuhi. Tidak seperti sekarang ini, di mana kaum muslimin hanya dimusuhi, tapi tak lagi disegani, dihormati, apalagi ditakuti.

Memang, ada kalanya datang khalifah yang dhalim, atau aparat yang korup. Tapi masyarakat tahu, itu adalah pelanggaran suatu hukum. Hukumnya sendiri digali dari Islam. Sementara sekarang, ketika khilafah tidak ada lagi, hukum digali tak hanya dari Islam, bahkan mayoritas hanya imitasi hukum-hukum warisan penjajah kafir.

Kehancuran Bagdad 1258 oleh Tartar juga tidak membubarkan khilafah. Di bagian-bagian lain negeri, sistem Islam tetap jalan. Dan tentang Khalifah yang tidak lagi Quraisy, diterangkan oleh Ibnu Khaldun, bahwa Quraisy itu hanya syarat afdhaliyah dan kontekstual, karena dahulu suku yang paling berpengaruh di jazirah Arab adalah Quraisy, sehingga secara sosiologis, adanya Khalifah yang Quraisy akan mengurangi resistensi.

Dengan demikian jelaslah, bahwa negara Khilafah Islam memang pernah ada, didirikan Rasulullah sendiri, dan telah berlangsung jauh hingga tahun 1924.

Adapun klaim pengikut Wali al-Fatah atau Ahmadiyah bahwa mereka telah memiliki Khalifah, tentu saja bertentangan dengan konsep Khilafah yang rajih (kuat), yang menyatakan bahwa khalifah itu pemimpin baik spiritual maupun politis, dan rakyatnya tak hanya pengikut gerakannya, melainkan semua orang, muslim ataupun bukan, yang berada di wilayah kekuasaan negara itu dan negeri-negeri lain yang telah menggabungkan diri padanya. Khalifah wajib melindungi dan mengurus kebutuhan seluruh rakyatnya ini, tak hanya pengikut gerakannya saja.

Maka Khalifah ala Wali al-Fatah atau Ahmadiyah yang jelas-jelas hanya bersifat spiritual dan eksklusif pada jamaahnya, bukanlah Khalifah yang sahih. Demikian juga para penguasa negeri-negeri Islam, sekalipun menyatakan Islam agama negara, UUD-nya adalah al-Qur’an, atau berbentuk Republik Islam, maka selama mereka hanya membatasi diri untuk bangsa tertentu, mereka juga belum bisa disamakan dengan Khalifah.

Secara empiris, negara-negara di luar dunia Islam pasca 1924 tak pernah lagi merasa berhadapan dengan sebuah negara yang merepresentasikan ummat Islam sedunia. Mereka hanya berhadapan satu-satu, dengan Iran, Saudi, Pakistan dan sebagainya. Mereka tidak lagi mendapatkan kaum muslimin bersatu dalam suatu formasi ideologis.

Jadi memang, sudah 80 tahun ini dunia menanti Khilafah.

Maka Khalifah ala Wali al-Fatah atau Ahmadiyah yang jelas-jelas hanya bersifat spiritual dan eksklusif pada jamaahnya, bukanlah Khalifah yang sahih. Demikian juga para penguasa negeri-negeri Islam, sekalipun menyatakan Islam agama negara, UUD-nya adalah al-Qur’an, atau berbentuk Republik Islam, maka selama mereka hanya membatasi diri untuk bangsa tertentu, mereka juga belum bisa disamakan dengan Khalifah.

Secara empiris, negara-negara di luar dunia Islam pasca 1924 tak pernah lagi merasa berhadapan dengan sebuah negara yang merepresentasikan ummat Islam sedunia. Mereka hanya berhadapan satu-satu, dengan Iran, Saudi, Pakistan dan sebagainya. Mereka tidak lagi mendapatkan kaum muslimin bersatu dalam suatu formasi ideologis.

Jadi memang, sudah 80 tahun ini dunia menanti Khilafah.

sumber ;http://www.hayatulislam.net/realita-empiris-negara-rasulullah.html

Jumat, 09 Oktober 2009

poem

TRUE FRIENDSHIP!

With you, it's all about voiceless communication-
always knowing exactly what to say,
but never actually having to say it.

When no one seems to be listening,
you hear.
When I hurt but don't show it,
you know.
When I turn away to hide my tears,
you see.
When I feel like I can't get through to anyone,
you understand.

Your eyes glow just for me,
and I know you're proud.
You flash your magical, healing smile my way,
and I know everything will be all right.

You know everything there is to know about me.
You know what worries me,
what keeps me up at night,
and what shames me so badly
that I can't share it with anyone.
Most importantly, though,
none of those things bother you.

You've restored my faith in people
and proved that there is a thing
called true friendship.

~Dawn Nissen~


FOREVER FRIEND

Sometimes in life
you find a special friend
Someone who changes your life
just by being part of it.

Someone who makes you laugh
until you can't stop
Someone who makes you believe
that there really is good in the world.
Someone who convinces you
that there really is an unlocked door
just waiting for you to open it.
This is Forever Friendship.

When you're down,
and the world seems dark and empty,
Your forever friend lifts you up in spirit
and makes that dark and empty world
suddenly seem bright and full.

Your forever friend gets you through
the hard times, the sad times,
and the confused times.
If you turn and walk away,
your forever friend follows.
If you lose your way,
your forever friend guides you
and cheers you on.

Your forever friend holds your hand
and tells you that
everything is going to be okay.
And if you find such a friend,
you feel happy and complete,
because you need not worry.
You have a forever friend for life,
and forever has no end.

~author unknown


Thinking Of YOU!

When I open my eyes
to see the sun rise
I think of you.

When I hear a robin sing
on the first day of spring
I think of you.

When I see a red rose
on the bush where it grows
I think of you.

When I feel the summer heat
on the sand beneath my feet
I think of you.

When I sit on a beach
another world just out of reach
I think of you.
When I see the colored leaves
fall to the ground from a light breeze
I think of you.
When I look to the night sky
and see the sparkle like in your eyes
I think of you.

When the snow is coming down
to softly blanket the ground
I think of you.

When I go to bed at night
as I turn out the light
I think of you.
When I'm old and near death
and I draw my last breath
I'll think of you.

~Rickrob~


I Miss You

Though you are not here
wherever I go or whatever I do
I see your face in my mind
and I miss you so
I miss telling you everything
I miss showing you things
I miss our eyes
secretly giving each other confidence
I miss your touch
I miss our excitement together
I miss everything we share
I don't like missing you
It is a very cold
and lonely feeling
I wish that I could be
with you right now
where the warmth of our love
would melt the winter snows
But since I can't be
with you right now
I will have to be content
just dreaming about
when we'll be together again

-Poem by Susan Polis Schutz


I will be Here!

If in the morning when you wake,
If the sun does not appear,
I will be here.
If in the dark we lose sight of love,
Hold my hand and have no fear,
I will be here.

I will be here,
When you feel like being quiet.
Through the winning, losing, and trying,
we'll be together, And I will be here.

If in the morning when you wake,
If the future is unclear,
I will be here.
I will be true to the promises I've made,
To you and to the one who gave you to me.
I will be here.

~Steven Curtis Chapman~



Dreaming of You!

I lay in bed on a dark,
stormy night
I drift off to sleep, my mind
takes flight
I dream of places far
and near
I wish you could be here.
I hear your voice and
see your smile
I wish it would last
little while
I sometimes wonder if
you ever knew...
That I lay in my bed,
dreaming of you.

~ Melissa Doyle


Our Love

Love is a word, not from the mind
If you look into my eyes,
My Love you will find.
As I look in your eyes
I see us together
And I know this is forever.
As I hold you near
I feel the Love
Without a single fear.
Take my hand and I'll show you the way
Our Love will grow stronger
y day.
~author unknown~



Always and Forever

I never get to tell you what I really need to say
How I long to hold you each and every day
You mean more to me than words can ever express
Without you my life would be a total mess
As I look into your eyes, and at your perfect face
I know there will never be anyone to take your place
No matter what problems we may go through
That place in my heart will always be for you
If I am having a hard time letting you in
It's because I have played the game, and never win
Your love means so much to me
I just don't know how to make you see
I don't care what people say
We can stick together anyway
When they come to me, all I see is your face
When they start to speak your voice takes their place
It's a voice that promises to always be there
No matter what they say, I know you still care
Always and Forever is what this means to me
I LOVE YOU, now can you see?

~by Erica Bowen~Top of Form 1





http://romy72750.tripod.com/id14.html